Jumat, 10 Juli 2015

Perkembangan SAK Di Indonesia (Softskill akuntansi internasional)

Nama : Vio Hichael.F
Npm   : 27211294
Kelas  : 4EB09

PERKEMBANGAN SAK DI INDONESIA 

Sejarah SAK

        Adanya perubahan lingkungan global yang semakin menyatukan hampir seluruh negara di dunia dalam komunitas tunggal, yang dijembatani perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang semakin murah, menuntut adanya transparansi di segala bidang. Standar akuntansi keuangan yang berkualitas merupakan salah satu prasarana penting untuk mewujudkan transparasi tersebut. Standar akuntansi keuangan dapat diibaratkan sebagai sebuah cermin, di mana cermin yang baik akan mampu menggambarkan kondisi praktis bisnis yang sebenarnya. Oleh karena itu, pengembangan standar akuntansi keuangan yang baik, sangat relevan dan mutlak diperlukan pada masa sekarang ini.
        Terkait hal tersebut, Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) sebagai wadah profesi akuntansi di Indonesia selalu tanggap terhadap perkembangan yang terjadi, khususnya dalam hal-hal yang memengaruhi dunia usaha dan profesi akuntan. Hal ini dapat dilihat dari dinamika kegiatan pengembangan standar akuntansi sejak berdirinya IAI pada tahun 1957 hingga kini. Setidaknya, terdapat tiga tonggak sejarah dalam pengembangan standar akuntansi keuangan di Indonesia.
        Tonggak sejarah pertama, menjelang diaktifkannya pasar modal di Indonesia pada tahun 1973. Pada masa itu merupakan pertama kalinya IAI melakukan kodifikasi prinsip dan standar akuntansi yang berlaku di Indonesia dalam suatu buku ”Prinsip Akuntansi Indonesia (PAI).”
Kemudian, tonggak sejarah kedua terjadi pada tahun 1984. Pada masa itu, komite PAI melakukan revisi secara mendasar PAI 1973 dan kemudian mengkondifikasikannya dalam buku ”Prinsip Akuntansi Indonesia 1984” dengan tujuan untuk menyesuaikan ketentuan akuntansi dengan perkembangan dunia usaha.
        Berikutnya pada tahun 1994, IAI kembali melakukan revisi total terhadap PAI 1984 dan melakukan kodifikasi dalam buku ”Standar Akuntansi Keuangan (SAK) per 1 Oktober 1994.” Sejak tahun 1994, IAI juga telah memutuskan untuk melakukan harmonisasi dengan standar akuntansi internasional dalam pengembangan standarnya. Dalam perkembangan selanjutnya, terjadi perubahan dari harmonisasi ke adaptasi, kemudian menjadi adopsi dalam rangka konvergensi dengan International Financial Reporting Standards (IFRS). Program adopsi penuh dalam rangka mencapai konvergensi dengan IFRS direncanakan dapat terlaksana dalam beberapa tahun ke depan.\

Pengadopsian Standar Akuntansi Internasional di Indonesia

        Saat ini standar akuntansi keuangan nasional sedang dalam proses konvergensi secara penuh dengan International Financial Reporting Standards (IFRS) yang dikeluarkan oleh IASB (International Accounting Standards Board. Oleh karena itu, arah penyusunan dan pengembangan standar akuntansi keuangan ke depan akan selalu mengacu pada standar akuntansi internasional (IFRS) tersebut.
        Untuk hal-hal yang tidak diatur standar akuntansi internasional, DSAK akan terus mengembangkan standar akuntansi keuangan untuk memenuhi kebutuhan nyata di Indonesia, terutama standar akuntansi keuangan untuk transaksi syariah, dengan semakin berkembangnya usaha berbasis syariah di tanah air. Landasan konseptual untuk akuntansi transaksi syariah telah disusun oleh DSAK dalam bentuk Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah. Hal ini diperlukan karena transaksi syariah mempunyai karakteristik yang berbeda dengan transaksi usaha umumnya sehingga ada beberapa prinsip akuntansi umum yang tidak dapat diterapkan dan diperlukan suatu penambahan prinsip akuntansi yang dapat dijadikan landasan konseptual. 

Konvergensi IFRS di Indonesia

        Baskerville (2010) dalam Utami, et al. (2012)  mengungkapkan bahwa konvergensi dapat berarti harmonisasi atau standardisasi, namun harmonisasi dalam konteks akuntansi dipandang sebagai suatu proses meningkatkan kesesuaian praktik akuntansi dengan menetapkan batas tingkat keberagaman. Jika dikaitkan dengan IFRS maka konvergensi dapat diartikan sebagai proses menyesuaikan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) terhadap IFRS.
        Lembaga profesi akuntansi IAI (Ikatan Akuntan Indonesia) menetapkan bahwa Indonesia melakukan adopsi penuh IFRS pada 1 Januari 2012. Penerapan ini bertujuan agar daya informasi laporan keuangan dapat terus meningkat sehingga laporan keuangan dapat semakin mudah dipahami dan dapat dengan mudah digunakan baik bagi penyusun, auditor, maupun pembaca atau pengguna lain.
        Dalam melakukan konvergensi IFRS, terdapat dua macam strategi adopsi, yaitu big bang strategy dan gradual strategyBig bang strategy mengadopsi penuh IFRS sekaligus, tanpa melalui tahapan-tahapan tertentu. Strategi ini digunakan oleh negara -negara maju. Sedangkan pada gradual strategy, adopsi IFRS dilakukan secara bertahap. Strategi ini digunakan oleh negara – negara berkembang seperti Indonesia.

Terdapat 3 tahapan dalam melakukan konvergensi IFRS di Indonesia, yaitu:

  1. Tahap Adopsi (2008 – 2011), meliputi aktivitas dimana seluruh IFRS diadopsi ke PSAK, persiapan infrastruktur yang diperlukan, dan evaluasi terhadap PSAK yang berlaku.
  2. Tahap Persiapan Akhir (2011), dalam tahap ini dilakukan penyelesaian terhadap persiapan infrastruktur yang diperlukan. Selanjutnya, dilakukan penerapan secara bertahap beberapa PSAK berbasis IFRS.
  3. Tahap Implementasi (2012), berhubungan dengan aktivitas penerapan PSAK IFRS secara bertahap. Kemudian dilakukan evaluasi terhadap dampak penerapan PSAK secara komprehensif. 

http://yopipazzo.blogspot.com/2014/05/standar-akuntansi-keuangan-dan.html
https://edhane.wordpress.com/2010/04/01/sejarah-sak/
https://elraihany.wordpress.com/2013/04/24/konvergensi-ifrs-di-indonesia-perkembangan-dan-dampaknya-terhadap-bisnis-dan-auditor/

Rabu, 06 Mei 2015

global vs regional (branchless banking

Nama   : Vio Hichael.F
Kelas   : 4EB09
Npm    : 27211294

Global vs Regional ( Branchless Banking )

Melanjutkan pembahasan tentang Branchless Banking ( BB ) kita akan coba melihat lebih jauh kenapa perlu adanya BB. Untuk kita pahami sesuai dengan pembahasan sebelumnya tentang istilah BB, kita berpatokan pada istilah BB sebagai kegiatan layanan transaksi bank dengan kriteria sebagai berikut :
1. Tanpa melalui kantor cabang bank
2. Menggunakan agen yang bekerjasama dengan bank
3. Nasabah bisa melakukan transaksi sendiri atau menggunakan agen
4. Fitur transaksi yang sederhana/basic feature
5. Layanan murah/low cost transaction
6. Ditujukan khususnya untuk segmen bawah atau unbanked

       BB sebagai salah satu bentuk inisiatif financial inclusion  sangat membantu untuk memajukan  perekonomian suatu negara melalui peningkatan akses masyarakat terhadap jasa layanan bank sehingga ultimate goal bank sebagai unit usaha pembiayaan akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Studi-studi yang dilakukan oleh berbagai lembaga pemerintah, swasta, asosiasi, perusahaan keuangan maupun lembaga donor menyimpulkan beberapa hal kenapa perlunya BB. Berikut kami sampaikan kenapa BB :

1. Seperti halnya dinegara negara berkembang Indonesia termasuk didalamnya, akses layanan perbankan masyarakat bawah masih kurang bahkan beberapa negara dapat dikatakan kurang sekali. Indonesia sendiri berdasarkan survey Bank Dunia tahun 2010 berkisar 49% dari populasi belum terlayani. Negara-negara lain seperti Pakistan 85%, Filipina 75%, China 60% dan India 55%. Thailand dan Malaysia justru lebih rendah dari Indonesia.

2. Pembukaan kantor bank yang memerlukan investasi dan biaya operasional yang mahal. Sebagai gambaran rata-rata biaya investasi yang dibutuhkan bisa sekitar 1,5 milyar dengan biaya operasional tahunan sekitar 900 juta per kantor

3. Konsentrasi lokasi perbankan banyak didaerah perkotaan atau urban yang padat. Hal ini dikarenakan potensi bisnis yang secara kasat mata sudah jelas terlihat menguntungkan bagi bank. Kalaupun ada di rural area, dapat dipastikan merupakan area yang padat aktifitas ekonomi, berkembang sehingga secara ekonomis bank melihat feasibility membuka bank didaerah tersebut menguntungkan.

4. Persepsi masyarakat bawah terhadap layanan bank. Mereka melihat bank sebagai sesuatu yang tidak untuk mereka (bank is not for me). Sejatinya mereka justru dalam keseharian bersentuhan secara tidak langsung dengan layanan keuangan (financial service) yang juga dilakukan bank. Namun karena persepsi, mereka cenderung melakukannya dengan lembaga yang bukan bank antara lain koperasi dan perorangan. Persepsi yang mereka miliki bahwa :
  
a. Berhubungan dengan bank harus punya uang banyak dan hanya untuk orang kelas atas berduit
b. Harus meluangkan waktu khusus ke bank karena jarak yang jauh dari tempat aktifitasnya sehari hari
c. Prosedur berhubungan dengan bank berbelit belit, banyak aturan dan wajib diikuti
d. Harus antre untuk  bertransaksi yang hanya untuk kebutuhan sederhana seperti setor atrau tarik dengan jumlah kecil misalnya Rp. 10.000,--
e. Biaya transaksi yang mahal, misalnya kirim uang kena biaya Rp. 25.000,--
f. Produk atau layanan bank tidak dirancang untuk mereka dengan kondisi keuangan yang tidak tetap
g. Ada kecenderungan diskriminasi dalam pelayanan terhadap mereka, menganggap mereka tidak punya uang sehingga layanan yang diterima berbeda.

5. Potensi besar segmen bawah yang belum tergarap. Jujur kita akui bahwa aktifitas ekonomi sebagian besar digerakkan oleh sektor ekonomi kelas bawah seperti usaha-usaha mikro yang masih dilaksanakan melalui mekanisme tunai. Berdasarkan data kurang lebih sebesar Rp. 300 triliun uang tunai ditransaksikan lewat segment ini. Apabila jumlah tersebut masuk ke sistem perbankan dan disalurkan bank kembali dalam bentuk kredit ke meraka, tentunya akan menjadi stimulus penggerak perekonomian yang sangat besar. Efisiensi dalam pengeloaan uang tunai oleh BI pun akan dapat ditingkatkan dengan adanya penggunaan transaksi melalui branchless banking.

6. Kemajuan teknologi khusus dalam berkomunikasi. Adanya tingkat penetrasi yang tinggi perusahaan telco ke masyarakat bawah melalui penggunaan telepon seluler, menyebabkan timbulnya pemikiran bagaimana memanfatkan kemajuan cara berkomunikasi ini untuk menembus layanan keuangan ke segmen dimaksud dengan memanfatkan keunggulan - keunggulan yang dimiliki perusahaan telco.

Hal-hal tersebut diatas, mengkondisikan perlunya BB dan saat ini sedang berkembang di negara-negara Asia Pasific, Africa dan Amerika Latin. Asia merupakan emerging market termasuk Indonesia yang baru mulai memasuki era ini, meskipun aturan terkait penerapannya masih dalam persiapan oleh BI. Layanan perbankan tanpa kantor alias branchless banking merupakan mimpi lama yang telah ditiupkan sejak era Bank Indonesia dipimpin oleh Darmin Nasution. Ketika itu, fungsi pengawasan dan pengaturan perbankan masih melekat sebagai tugas Bank Indonesia.

Bank Indonesia telah menggandeng 5 bank dan 3 perusahaan telekomunikasi untuk mengadakan uji coba pelaksanaan program branchless banking di sejumlah daerah pada Mei hingga November 2013. Pada tahap ujicoba, agen-agen perbankan yang terdiri atas agen individu maupun badan usaha menjalankan fungsi perbankan secara sederhana; menerima simpanan uang, melayani transfer, dan menjadi jembatan pembayaran berbagai tagihan seperti biaya listrik, air, jual beli pulsa.

Rezim berubah. Ketika fungsi pengawasan dan pengaturan industri perbankan kemudian beralih kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 31 Desember 2013, konsep branchless banking pun pada akhirnya terbawa ke otoritas baru tersebut.

Namun demikian, Bank Indonesia masih mempertahankan wewenangnya sebagai otoritas di bidang sistem pembayaran. Program branchless banking versi Bank Indonesia pun, pada akhirnya, fokus hanya pada sistem pembayaran. Agen-agen perbankan yang direkrut oleh bank, menurut aturan Bank Indonesia, dapat melayani registrasi uang elektronik, melayani jasa pembayaran berbagai macam tagihan rutin, dan menyalurkan bantuan pemerintah yang diberikan melalui uang elektronik.

Agen-agen perbankan yang direkrut tidak dapat membantu bank membuka rekening tabungan, menerima simpanan, maupun menyalurkan kredit. Padahal, fungsi-fungsi tersebut sebelumnya telah diujicobakan dalam pilot project program branchless banking.

Baru kemudian pada 18 November 2014, ketika OJK menelurkan Peraturan OJK No.19/POJK.03/2014 tentang Layanan Keuangan Tanpa Kantor Dalam Rangka Keuangan Inklusif (Laku Pandai), wajah lama branchless banking kembali muncul.